Oleh : Rae Agustinus
Ketua Pemuda Katolik Kabupaten Ende
Arus fundamentalisme agama di bumi pertiwi masih terasa deras hingga kini. Ujaran kebencian, pelarangan tempat ibadah, hingga wajah paling buruk dari radikalisme ini seperti peledakan bom masih sama-sama kita saksikan. Hingga hari ini pada skala nasional terdapat dua peristiwa besar yaitu peledakan bom di Kampung Melayu-Jakarta pada 24 Mei 2017 dan “bom panci” di Bandung-Jawa Barat pada 8 Juli 2017.
Peristiwa pada skala nasional tersebut juga sudah mulai kita rasakan di regional NTT kendati baru tanda-tanda atau tahap permulaan. Dua tahun lalu dalam harian Kompas (20/4/15), diberitakan penangkapan salah seorang terduga teroris berinisial “S” oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88), di Kampung Rangga Watu, sebuah kampung yang terletak di Kecamatan Sananggoang-Kabupaten Manggarai Barat. Di Kupang, pada 16 Mei 2015 pernah merebak informasi bahwa organisasi yang menolak Pancasila dan alergi terhadap kebhinekaan akan melakukan pawai di kota itu. Pada 30 November 2015 ditemukan gambar lambang ISIS di sejumlah tempat di So’e-TTS. Di kabupaten Sikka pada 26 Mei 2017, terjadi keributan karena warga di sana menolak seseorang yang kerap menebar kebencian di dunia maya berkunjung ke daerah itu. Dan informasi seperti ini terus berlanjut sampai kabar terbaru oleh salah satu media online, dua warga kabupaten Malaka terindikasi bergabung dengan ISIS.
Ilfiltrasi Fundamentalisme Radikal di Indonesia
Apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya sudah dialami bangsa ini bahkan sejak ia baru saja lahir. Kita tentu masih ingat kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam sidang BPUPKI tanggal 18 Agustus 1945, atau dalam sidang Majelis Konstituante 1959) dan lainnya melalui kekuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII). Pada perkembangan selanjutnya dua kelompok yang sekaligus merepresentasi dua bentuk gerakan (pada masa kepemimpinan Bung Karno) ini perlahan mereda akibat tekanan juga rekayasa sosial rezim otoritarianisme Pak Harto.
Ketika bangsa ini berhasil lolos dari dekapan otoritarianisme Pak Harto lalu mengembangkan suatu iklim kebebasan, kelompok-kelompok garis keras yang mendasarkan diri pada ajaran agama mulai bermunculan, di sini kemunculannya tidak lagi terbatas pada dua ciri gerakan yang telah ada sebelumnya tetapi jauh lebih beragam dengan organ-organ yang juga beragam.
Secara garis besar sejak keran kebebasan dibuka oleh reformasi pada 1998, kita baru saja merasakan beberapa tantangan fundamentalisme radikal yang dapat saya kategorikan dalam beberapa tahap; 1) Penguatan organ-organ fundamentalisme radikal yang memanfaatkan agenda reformasi seperti kebebasan berorganisasi, menyatakan pendapat, kebebasan media informasi, dll. 2) Setelah tahap pertama dirasa telah siap, selanjutnya ilfiltrasi ajaran garis keras mereka ke dalam organisasi-organisasi lain termasuk partai politik, atau membentuk sendiri organisasi dan partai politik yang “menyimpan” agenda garis keras mereka. Pada tahap ini juga ilfiltrasi yang dilakukan itu memasuki ranah pemerintahan apakah itu pemerintahan pusat atau di daerah-daerah. 3) Pada tahap ini kelompok-kelompok garis keras merasa diri kuat dan dengan demikian secara perlahan mewujudkan ambisi-ambisinya. Inilah titik di mana kita melihat aksi-aksi kekerasan massa berlandaskan ajaran agama atau yang dinamai kalangan intelektual religius sebagai “teologi kebencian” massif dilakukan.
Aksi-aksi kekerasan ini mudah saja ditemukan dalam sweeping, pelarangan beribadah, perusakan tempat ibadah, dll. Jika hal-hal itu dilihat dari sisi organisasi di luar pemerintahan, maka pada pemerintahan kita mengingat UU APP dan Perda-perda yang membatasi kebebasan warga hanya dengan merujuk pada salah satu ajaran agama. Pada tahap ketiga itu (tanpa mengurangi berbagai pencapaian pemerintah sebelumnya) dapat saya katakan merebak pada kepemimpinan SBY jilid II, ketika itu berbagai tulisan yang menyikapi paham garis keras dapatlah dirangkum ke dalam satu tuntutan sentral yang tidak lain dan tidak bukan ialah: Ketegasan pemimpin!
Selain itu, sekarang ini terdapat fenomena ilfiltrasi fundamentalisme gaya baru. Ilfiltrasi ini masuk ke dalam ranah psikologi dan kita kenal dengan istilah Islam Phobia, bahwa ada kekhawatiran berlebihan terhadap umat/ajaran Islam. Bagi penulis hal ini jelas dikategorikan sebagai salah satu fundamentalisme agama dan sangat dikhawatirkan bahwa fenomena ini menjangkit di bumi pertiwi.
Fenomena ini pada mulanya terjadi di Eropa beberapa tahun sebelum Trump melontarkan sinisme SARA pada musim kampanye presiden. Di Jerman misalnya ada gerakan atas nama ajaran Yahudi-Kristen yang menolak para imigran. Pada Januari 2015, Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes (Pegida), suatu pergerakan politik yang berbasis di Dresden, Jerman, sebanyak 18 ribu orang turun ke jalan untuk mengikuti demonstrasi anti-imigran yang diorganisir oleh kelompok ini. Pegida mengklaim sebagai gerakan dari bawah dan menurut manifestonya bertujuan melindungi nilai-nilai “Yahudi-Kristen”. Gerakan anti-imigran atau disebut pula anti-Islam yang bermula hanya dengan beberapa ratus orang pada Oktober 2014 itu, berkembang cepat dan bersatu dalam kesamaan persepsi mengenai (dan menolak) “Islamisasi Eropa” (Majalah Tempo edisi 18 Januari 2015, hlm. 97).
Kendati Pegida dan kelompok fundamentalis lain di Barat mendapat perlawanan berbagai kelompok yang mendaku humanisme sekuler, kita tentu perlu mencermati secara seksama dampak virus radikalisme tersebut khususnya fenomena Islam Phobia, jangan sampai merebak di negara ini. Pencermatan ini penting mengingat ada kasus Ahok yang bisa membuka celah menyusupnya Islam Phobia secara diam-diam.
Momentum Kaum Nasionalis-Religius
Itulah tantangan bangsa saat ini. Kalau diperhatikan dari territorial perdebatan, dapat disimpulkan bahwa ranah perdebatan bertumpu pada ajaran agama. Di sini, ajaran agama digunakan untuk menolak keberagaman bahkan ideologi. Karena locusnya yang berada pada wilayah agama, maka cara yang digunakan untuk memenangkan perdebatan tentu mesti menggunakan dalil-dalil agama pula. Di sinilah posisi kaum nasionalis-religius (Kristen, Islam, Hindu, dll,) menjadi begitu penting. Contoh, kalau ada kelompok atau organisasi Katolik yang menolak Pancasila dengan dalil agamis maka lebih efektif bila kaum nasionalis-religius Katolik yang menentang dan meladeni perdebatan itu. Hal tersebut mencegah ketersinggungan dan lebih mencerahkan, sebab yang tahu betul tentang ajaran Katolik sekalian sejarah komitmennya terhadap bangsa adalah orang Katolik itu sendiri.
Dengan demikian menurut penulis, yang perlu dilakukan sekarang ini ialah, pertama, kaum nasionalis-religius mesti melakukan penguatan ajaran agama dan hubungannya dengan nasionalisme yang telah tersedia di dalam sejarah bangsa ini.
Di Indonesia sendiri, para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhammd Hassan, dan tokoh-tokoh penting pendiri bangsa lainnya, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Para pendiri sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqashid al-syariah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al’ammah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya (Wahid, Abdurrahman (ed). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesa. Jakarta: The Wahid Institute, 2009, hlm. 17).
Pun sama halnya ditemukan pada kaum nasionalis-religius Kristen, telah membentang sejarah panjang tentang komitmen dan perjuangan terhadap bangsa. Di sana mudah sekali ditemukan bagaimana umat Kristiani dengan keringat, darah, dan air mata berkorban untuk bangsa ini. Katolik contohnya, ada Mgr. Soegiya Pranata yang dikenal melalui ajaran “seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia”. Kala menghadapi kaum penjajah, Mgr. Soegiya Pranata tidak ragu menegakan komitmen umat Katolik bahwa seratus persen nilai kebaikan dalam ajaran Katolik disumbangkan seratus persen bagi bangsa Indonesia. Demikian pula bagi kaum nasionalis-religius Hindu, Budha, dll, sekiranya komitmen dan perjuangan bagi bangsa telah final melalui bukti-bukti sejarah.
Kedua, berpegang pada ajaran agama dan sejarah tersebut, kaum nasionalis-religius harus berani meladeni perdebatan bahkan harus sampai menggerakan the silent majority untuk sama-sama bersuara.
Sekiranya cukup beralasan ketika Bung Hatta mengatakan, “persatuan yang diam-diam adalah per-sate-an”. Posisi diam disaat warga lain sangat membutuhkan sikap dan komitmen berbangsa, hanya akan menimbulkan sikap saling curiga yang rentan terhadap perpecahan di dalam masyarakat itu sendiri.
Sekian lama negara ini merdeka, sikap diam mayoritas masyarakat yang digelisahkan Bung Hatta dahulu ternyata masih tetap awet hingga kini. Tentu sikap diam mayoritas masyarakat ini amat menggelisahkan. Contoh, ketika terjadi pelarangan pembangunan Gereja di beberapa tempat di pulau Jawa dan kaum nasionalis-religius Islam di sana “diam seribu basah”, maka sudah tentu sikap itu menggelisahkan umat Kristen. Risau dan mempertanyakan kembali ikhwal persatuan Indonesia dan benarkah radikalisme agama adalah musuh bersama. Begitu pun sebaliknya, jika terjadi penolakan pembangunan Masjid di daerah NTT dan mayoritas kaum nasionalis-religius Kristen cenderung mendiamkannya sudah tentu hal ini amat menggelisahkan saudara/i umat Islam.
Nah, dalam situasi-situasi tersebut di atas sudah seharusnya kaum nasionalis-religius bersuara menegaskan komitmen dalam berbangsa. Kaum nasionalis-religius Islam di Jawa mesti bersuara, menjelaskan dan mengajak melindungi hak-hak saudara-sebangsa, apapun agamanya. Begitu pun sebaliknya dengan kaum nasionalis-religius Kristen di seluruh NTT. Dan hal ini berlaku bagi seluruh warga bangsa sebagai bagian dari “tugas sejarah” kita hari ini.
Perlu penulis tekankan kembali, kaum nasionalis (atau nasionalisme-sekuler) pastilah kesulitan menjernihkan persolaan radikalisme agama karena ia bersembunyi dibalik dalil-dalil agama. Bila ia menggunakan dalil-dalil agama, itu artinya ia sedang berada di dalam territorial kaum nasionalis-religius. Dengan mendasarkan diri pada ajaran agama dan hubungannya dengan nasionalisme, kaum nasionalis-religius lebih tepat dan lebih utuh dalam menjelaskan dan menyelesaikan persoalan ini. Pertanyaannya kini: Mau dan sanggupkah kaum nasionalis-religius mengambil momentum ini? (RL/Rae)
Keterangan Foto : Rae Agustinus
What’s up tto all, hhow iis all, I thinnk every oone is
getting more fromm thhis site, and your vews arre goood for neww visitors.
Great webb site yyou have here.. It’s hard to find excellentt writing like yyours thesse days.
I seriouspy appreciate individuals like you! Take care!!
Hello there! I know thijs iis kinmda off topjc hoiwever , I’d figurrd
I’d ask. Woul yoou bee interestedd in trading llinks or maybe guedst authoring a blig
article orr vice-versa? My boog goess ovver a lott
oof tthe same topics ass yours and I fewel we culd greatlly benefcit from each other.
If yoou happen to be interestd fewl frewe too
shoot mme aan e-mail. I lolk forward to hearing frolm you!
Wonderfl blog bby the way!
This paragraph will assist tthe intrnet vviewers ffor
setting up nnew bllog orr een a weblog frkm start too end.