Nagekeo, KlikNTT.Com-Puluhan Masyarakat diantaranya ibu-ibu Kampung Boalobo, Desa Woedoa, Kecamatan Nangaroro Kabupaten Nagekeo Melakukan Proses pembuatan periuk tanah atau yang biasa disebut masyarakat woedoa pada umumnya dalam bahasa daerah Podho(periuk tanah). Dan proses pembuatannya dibagi dalam kelompok yang bertempat di sebuah sanggar Komunitas Anak Muda Desa. Senin, (08/07/2019).
Proses pembuatannya sederhana, hanya membutuhkan waktu 1 Minggu untuk menghasilkan periuk tanah (podho) sesuai kebutuhan mereka.
Salah seorang Tokoh masyarakat kampung Woedoa Yeremias Rae Dusun D mengatakan untuk proses pembuatan periuk tanah tersebut hanya membutuhkan waktu 1 minggu saja. Serta membutuhkan keterampilan dan ketabahan saja dalam proses pembuatannya, sehingga periuk tanah tidak terlihat rusak atau pecah.
Yeremias menjelaskan proses pembuatan podho(periuk tanah) hanya 1 tahun sekali pembuatan periuk tanah sebelum Berburu adat (Ndai). Ia menyebutkan sekitar bulan Juli, Agustus, September. Dan pada saat berburu adat tiba, aktifitas pembuatan periuk ini tidak dilakukan.
Menurutnya Pembuatan Podho hanya menggunakan alat dan bahan yang sederhana. Ia menuturkan sebelum proses pengambilan tanah dilakukan, awalnya harus membuat seremonial adat (utu dipi) memberikan makan kepada leluhur yang dilakukan di rumah adat, dan setelah itu baru acara seremonialnya dilakukan ditempat pengambilan tanah seperti Utu tedo, Wesa Zea pada tanah(awu) yang mau di (Koe)gali.
Yeremias juga mengungkapkan selain itu adapun tahapan-tahapan dalam proses pembentukan periuk tanah. Yang pertama, Dho awu, yaitu proses menghaluskan tanah dengan cara ditumbuk di atas batu lebar menggunakan lesung (adu),yaitu alat penumbuk yang terbuat dari kaju go rawa/kayu jambu, kemudian Deke, yaitu proses membagi tanah yg sudah ditumbuk menjadi beberapa bagian, Kebha, membentuk bagian dasar periuk tanah, Pese, yaitu membentuk bagian badan periuk, Ngenge yaitu tahap menyambungkan bagian badan ke bagian dasar, Abha,yaitu tahapan memadatkan periuk setengah jadi menggunakan air, watu do (batu) dan wasa do, yaitu kayu penghalus yang dibuat dari kayu nara, Wizo, yaitu tahapan periuk tanah diangin-anginkan selama satu jam, Jejo, yaitu membentuk bagian badan periuk agar lebih halus. Proses ini menggunakan air, watu do dan wasa do, Wizo, yaitu tahap mengangin-anginkan periuk untuk kedua kalinya, Wasa wiwi, membentuk bagian leher periuk, Wai, yaitu proses penjemuran selama 3-4 hari, Bui, yaitu tahapan membakar podo/periuk menggunakan bambu kering dan pubhu, sejenis alang2 dan tahap terakhir Wa’u, yaitu periuk dibakar sekali lagi dengan kayu bambu aur.
“Pembuatan periuk tanah ini adalah sebuah acara adat warisan nenek moyang kami yang mulai hilang dan kami berniat untuk membangkitkan kembali agar tidak punah sehingga berlanjut bagi anak cucu,” kata ketua komunitas Na’a Ana, Konstatinus Dhae.
Menurut Ostin pada proses pembuatan laki-laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing. Laki-laki bertugas untuk mengambil tanah liat dan menjual periuk tanah sedangkan perempuan membentuk tanah liat menjadi periuk tanah.
“Ritual tu podo atau pembuatan periuk tanah ini adalah sebenarnya salah satu ritual permulaan dari kalender adat suku Ndora dan diakhiri dengan ritual dai atau berburu adat,” Katanya.
Lusia Bezo, 62 tahun juga menjelaskan sudah mewarisi keahliannya membuat periuk tanah dari ibu kandungnya sejak umur 17 tahun. Ia menuturkan, terdapat sejumlah pantangan bagi perempuan yang hendak terlibat dalam upacara pembuat periuk tanah ini.
Beberapa pantangan ketika pengambilan tanah untuk pembuatan periuk di antaranya bagi kaum wanita tidak dalam masa haid ataupun saat sedang hamil. Selain itu pada proses pembentukan periuk tanah perempuan harus pantang minum moke (hasil penyulingan air sadahan pohon enau), dan tidak mengonsumsi daging ayam.
“Tidak boleh maki-maki atau mengeluarkan kata yang tidak sopan karena salah satu bentuk menghargai tanah karena kita berasal dari tanah. Tanah yang menghidupi kita dan pendukung hidup kita, sehingga kita memanfaatkan dan nikmati dengan baik, tanpa merusak sehingga tidak terjadi kesialan,” tutur Lusia.
Bagi para ibu ini melapetaka akan menimpa hidup bila segala pantangan yang dilakukan dalam ritual ini diabaikan.
Seribu periuk tanah yang dihaslkan dari ibu-ibu ini rencananya akan dibagikan pada lima desa tetangga yang nantinya akan diparadekan pada Festival Literasi di Kota Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo pada awal agustus.( Vhiand)