Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Daerah

Stok Pangan Menipis, Warga Woedoa NTT Konsumsi Ubi Hutan Beracun

138
×

Stok Pangan Menipis, Warga Woedoa NTT Konsumsi Ubi Hutan Beracun

Sebarkan artikel ini

Nagekeo, KlikNTT.Com-Akibat stok Pangan mulai menipis ditengah pandemi Virus Corona (Covid-19) yang melanda belahan Dunia akhir-akhir ini, Warga Woedoa, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, NTT harus mengkonsumsi Ubi Hutan Beracun.

Warga Woedoa  biasa menyebut Ubi Hutan beracun dalam bahasa daerahnya itu Uwi Odo atau Ondo.

Untuk mendapatkan Ubi Hutan Beracun (Dioscorea Hispida) Warga setempat harus mempuh perjalanan sejauh 8 Kilo Meter untuk tiba di lokasi itu.

Warga Woedoa Maksimus Sela (48) mengaku bahwa untuk mendapatkan ubi beracun atau Ondo ini Ia bersama Istrinya tiap tahun menggali Ondo. Menurutnya Ondo sudah sejak dulu di konsumsi oleh warga.

“Saya dengan istri saya tiap tahun makan Ondo ini. Dan kami makan ubi ini bukan karena muncul Corona, tapi  Untuk gali dan makan Ondo ini sudah menjadi tradisi warga di sini sejak dulu. Jadi bersamaan dengan pandemi Covid-19 dan stok pangan kami juga mulai menipis, mau tidak mau kami harus makan Ondo sebagai pengganti Nasi.

Maksimus menambahkan bahwa sejak Ada Pandemi Covid-19 Ia bersama istrinya menilai bahwa ada perbedaan ketika mengkonsumsi Ondo dibanding dengan Nasi.

“Dengan situasi seperti ini mau tidak mau kami warga harus makan Ondo, kalau dibanding dengan Nasi, Ondo ini lebih tahan lapar. Jadi, kalau kita makan Ondo dari pagi sampai jam 12 Siang itu masih bisa tahan. Tidak rasa lapar. Ya Ondo ini juga sebagai pengganti nasi.Ujarnya.

Hal serupa dikatakan Isabela Suwo (46) bahwa mengkonsumsi Ubi Ondo menjadi tradisi leluhur sejak dahulu kala. Ia mengaku Ubi Hutan beracun itu sangat berbahaya jika tidak di racik secara baik. Kata Dia akan mabuk bahkan bisa mematikan.

“Ubi Odo ini sudah dari dulu biasa dikonsumsi orang tua saya waktu saya masih anak-anak. Untuk prosesnya tidak mudah. Begitupun kalau raciknya salah-salah, bisa bahaya. Katanya.

Isabela menjelaskan bahwa untuk tahapan dan prosesnya sangat sederhana dengan peralatan seadanya.

“Pertama-tama Ubi Odo ini harus digali lebih dulu, kemudian di diangkut dan di kupas kulitnya. Selanjutnya Odo diiris menggunakan papan mall iris yang disiapkan. Lanjutnya, Odo kemudian di iris tipis-tipis lalu ditaburi garam dalam ember berisi air. Untuk lebih mudah, Odo yang sudah diiris itu dipisahkan sehingga tidak lengket. Nha, setelah itu, Odo yang sudah di racik tersebut kemudian dimasukan ke dalam karung, dibawa ke Kali dalam air yang mengalir untuk di rendam selama satu malam. Kalau irisnya tebal bisa memakan waktu hingga tiga hari. Lalu di jemur. Setelah itu, ondo siap dikonsumsi dengan cara dikukus lalu menambahkan Kelapa yang sudah diparut. Bisa juga tambahkan kacang-kacangan dan sayur.

Sementara Leo Rengga (40) mengaku bahwa dirinya baru pertama kali mengkonsumsi Ubi Hutan beracun tersebut.

“Saya baru pertama kali datang langsung ke lokasi untuk menggali ubi Odo ini. Sebelumnya saya selama ini kerja buruh bangunan. Dengan adanya Covid ini saya akhirnya harus mencari dan mengkonsumsi Odo ini. Terangnya.

Piter menegaskan bahwa mengkonsumsi Ubi Odo bukan hal yang dipersoalkan. Diakuinya bahwa Ubi Odo tidak semata-mata untuk keperluan perut saja. Tetapi Odo merupakan bagian yang terpenting untuk menyembuhkan Penyakit seperti penyakit Gula.

Warga Lain, Kristina Iwa (40) mengaku sejak kecil Dirinya mengkonsumsi Ubi Odo.

“Sejak kecil saya sudah biasa makan ubi odo ini. Seharusnya tahun ini belum bisa untuk konsumsi Ubi Odo. Biasanya di bulan Juni dan Juli untuk gali ubi Odo. Tapi sekarang karena stok beras kami sudah mulai menipis, bulan ini baru kami mulai makan Odo. Katanya.

Tokoh Muda Desa Woedoa Konstantinus Dhae (35) saat ditemui menjelaskan bahwa Ubi Ondo atau Odo menjadi pangan terakhir pengganti nasi.

“Kita perlu tau langkah-langkahnya. Ubi ini sangat berbahaya dan beracun, kalau olah ini Odo salah-salah itu bisa mabuk. Minimal Odo direndam dalam air mengalir satu malam begitu. Biar bisa di makan.

Ostin menambahkan bahwa Hasil pangan milik warga semakin sulit dipasarkan. Menurutnya harga persediaan Sembako di Pasar mahal dan menyulitkan warga lain untuk membeli.

“Dengan Pandemi ini, harga Sembako di Pasar naik. Padahal kami di sini komoditinya lumayan bagus. Warga di sini ada kemiri banyak tapi mau bagaimana lagi tidak ada yang beli. Katanya. (Vhiand Dhalu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *