Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Daerah

Etu Suku Nataia, Simbol Keperkasaan Pria Dalam Seni Bertinju

118
×

Etu Suku Nataia, Simbol Keperkasaan Pria Dalam Seni Bertinju

Sebarkan artikel ini

Nagekeo, KlikNTT.Com-Kampung Boanio, Desa Olaia, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, minggu(12/7/2020) dari kejauhan tampak terlihat suara gemuruh bersorak keras menyaksikan seni bertinju adu kekuatan dalam pelataran tinju

Pertarungan seni bertinju beradu kekuatan itu, ternyata sering disebut oleh orang Suku Nataia yakni orang Boanio, Aeramo dan Nangadhero menamakannya “Etu”(tinju).

Bunyi gong dan gendang terus mengiringi dan tari tarian sebagai tanda detik-detik persiapan menyambut kedua sang petarung dalam arena “Nata Etu”( Pelataran Tinju)

Lain halnya pertarungan adu fisik jelas biasanya dijumpai dalam ring tinju dengan durasi dan round sampai 12 yang sudah disiapkan. Berbeda dengan “Etu”, dalam seni bertarung kedua petinju diapiti oleh 4 orang. Masing-masing mereka dibagi, yang satu dinamakan “Sike” dan “Seka”.

Tujuan dari “Sike” yakni mengatur arah sang petinju mengikuti alur gerak sang Petarung. “Seka” sendiri tujuannya untuk melerai kedua sang petarung jika hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi Pengatur sang petarung ada di dua orang yakni “Sike” dan “Seka”. Untuk  “Ghawe” sendiri sebagi sponsor untuk mencari lawan. Tugasnya mensponsori sang petarung dan penantang untuk siap dimasukan ke dalam pelataran Tinju(Nata Etu)

Namun sangat jelas berbeda, kedua sang petinju tidak menggunakan sabuk, alas gigi maupun pengaman untuk melindungi diri mereka. Masing-masing petinju hanya menggunakan bahan berbentuk lonjong yang terbuat dari kulit kelapa dan daun gebang kemudian dibaluti menggunakan tali gebang (Kuwa) yang sudah tua untuk menjadi senjata andalan bagi petinju. Orang Suku Nataia menyebutnya “Kepo” sebagai senjata untuk menghajar lawan.

Ketua Suku Nataia Patrisius Seo saat dijumpai wartawan menyampaikan bahwa tujuan tinju ini sudah dimuat sesuai dengan kalender adat. Jadi Etu ini setahun sekali diselenggarakan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen.

Ketua Suku Patris menambahkan bahwa Etu dilaksanakan selama empat hari.

“Hari pertama itu “Wari Go Laba” (jemur gong dan gendang), hari kedua “Etu Pate” (Tinju Anak-anak), kemudian hari ketiga “Ja Kepo”( tinju Orang Dewasa) dan hari terakhir itu dinamakan Etu Meze( Puncak Tinju). Setelah selesai Etu dilakukan upacara penutupan yang dinamakan Dhongi Koti( Pemukulan Gasing). Lanjut Patris,”tinju ini melibatkan 3 Desa  yakni Desa Aeramo, Desa Nangadhero dan Desa Olaia yang merupakan satu kesatuan Suku yakni Suku Nataia.

Sementara Ketua Lembaga Pemangku Adat (LPA) Desa Aeramo Sius Adha mengatakan bahwa selain Etu ada upacara lainnya diantaranya ada jeda waktu dengan melihat putaran bulan untuk dilakukan seromonial Kose (Masak Nasi Bambu) sebagai simbol untuk tahapan syukuran atas hasil panen selama setahun.

“Sebelum melanjutkan ketahapan “Kose” malam pertama akan dilakukan oleh 5 fungsionaris suku adat Nataia untuk melakukan ritual adat. Kemudian jeda dua hari dilakukan berburu selama tiga hari. Kemudian selesai berburu ketua suku melakukan melempar kelapa di atas atap untuk maki binatang dalam bahasa adat dengan kata ” Puki Rusa Lasu Wawi, Napa Eza Zua We’e Sabu Wali” sebagai pengusiran Dan Tolak Bala

Setelah semua tahapan dilaksanakan maka semua masyrakat wajib melakukan upacara seperti biasanya seperti sunat, potong gigi dan kenduri. Dan itu bisa diperbolehkan.

“Namun itu kegiatan selama 1 mnggu setelah tinju adat. Tutupnya.

Penulis : Vian Dhalu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *