Kupang_KlikNTT.com- Pakar Hukum (PH) Perdata, Undana Kupang, Dr.Saryono Yohanes SH.MH dan Pakar Hukum Pidana Unwira Kupang, Mikhael Feka, SH.MH yang menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL menjelaskan, setiap kasus yang terkait masalah perjanjian utang piutang tidak bisa disidangkan secara hukum pidana.
“Majelis hakim harus bijak dalam menentukan kasus yang sedang terjadi sesuai dengan Perma No 1 tahun 1959 (apabila terjadi dua kasus hukum perdata dan pidana maka hakim harus menangguhkan kasus pidananya) dan ini jelas”, kata kedua PH tersebut saat menjawab pertanyaan Majelis Hakim (MH) dalam sidang kasus dugaan sidang penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL yang kembali di gelar di ruang cakra, PN Kupang Kelas IA Rabu(02/06) siang.
Saryono menjelaskan bahwa setiap kasus yang terkait masalah perjanjian utang piutang tidak bisa disidangkan secara hukum pidana.
Karena itu, ia meminta MH harus bijak dalam menentukan kasus yang sedang terjadi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma RI) No 1 Tahun 1959 (apabila terjadi dua kasus hukum perdata dan pidana maka hakim harus menangguhkan kasus pidananya).
Tambahnya, sidang kasus ini tidak sesuai dengan perundang-undangan yang sudah ada, dan bertentangan dari segi Hak Asasi Manusia HAM) yakni Pasal 19 ayat (2), Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (atas ketidakmampuan Debitur tidak bisa dikenakan hukuman penjara ataupun kurungan).
Sementara saksi Ahli Pidana, Mikhael Feka, SH.MH, saat dimintai pendapatnya oleh MH terkait cek kosong yang diberikan oleh WL kepada Yano Laimonta (pemilik toko Cay Chong) tidak bisa dikenakan hukum pidana.
Ia menjelaskan bahwa, perbuatan pemberian cek kosong itu tidak bisa dikenakan hukum pidana melainkan hukum perdata sebab terkait dengan perjanjian utang piutang.
“Dari awal pihak debitur (WL) melaksanakan kewajibannya membayar angsuran. Tetapi di tengah perjalanan dia tidak mampu membayar tetap tidak bisa dikenakan hukum pidana, sesuai Perma Pasal 1, Nomor 56 (Apabila terjadi kasus hukum pidana dan perdata pada obyek yang sama hakim harus menangguhkan perkara pidananya sambil menyelesaikan hukum perdatanya).
Perjanjian masuk dalam hukum perdata, bukan pidana. Jika sejak awal debitur memberikan cek kosong itu baru masuk dalam hukum pidana.
“Sedangkan kasus yang terjadi saat ini adalah ketidak mampuan debitur mengansur di tengah perjalanan, dan itu bukan dikategorikan dalam hukum pidana. Hukum sudah jelas dan ada di dalam Undang-undang 39 tahun 1999 pasal 1 ayat 2 “, jelas Mikhael.
Sementara itu, tim Penasihat hukum (PH) terdakwa yakni Bernard Anin dan Joni E. Liunima menjelaskan, setelah mendengarkan keterangan saksi ahli hukum pidana dan perdata, berkeyakinan bahwa status hukum pidana yang ditujukan kepada kliennya merupakan suatu proses hukum yang tidak sesuai UU dan melanggar HAM. Keterangan saksi ahli sudah sesuai hukum yang berlaku.
Menurutnya, masalah utang piutang tidak bisa dikenakan hukum pidana. Pihak yang merasa dirugikan harus menempuh jalur hukum perdata (wanprestasi).
Dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL tersebut, saat ini pihak pelapor sedang melakukan mediasi dengan pihaknya selaku penasihat hukum terdakwa.
“Ini sudah ditempuh oleh pelapor sendiri kepada pihak kami dan sampai saat ini pihak pelapor masih melakukan mediasi kepada pihak kami”, ungkap Bernard.
Penahanan terhadap kliennya merupakan pelanggaran HAM.
“Kami melihat bahwa ditahannya klien kami, ini sudah melanggara ham. Kasus perdata belum selesai sudah dikenakan kasus pidana. Maka itu ini melanggar ham sesuai undang-undang no.39 tahun 1999 pasal 19 ayat 2 dan perma no.1 tahun 1959”, bebernya.
Salah satu kerabat dekat terdakwa WL yang ditemui media usai sidang, yang di pimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Budi Aryono mengatakan bahwa Ia baru memahami setelah menyimak keterangan saksi ahli pidana dan perdata dalam sidang.
“Kami sebagai orang yang tidak mengerti hukum akhirnya bisa mengerti ketika dengar dari penjelasan saksi ahli pidana dan perdata. Masa MH dan jaksa penuntut yang mengerti hukum dan tau peraturan undang-undang tidak tau menempatkan status hukum seseorang, yang diduga melakukan penipuan dan penggelapan masuk dalam pidana atau perdata”, ungkapnya.
Sesorang belum dinyatakan bersalah secara hukum perdata tetapi sudah dipidanakan dan ditahan, itu telah melanggar HAM. Seperti ini memang sangat mencoreng hukum yang ada di Indonesia.
Pertanyaan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada ahli perdata menunjukan seorang JPU yang tidak berkualitas. “Ini saya rasa ke jaksa penuntut tidak berkualitas”, tutupnya.
Ia menambahkan bahwa kasus ini sudah dilaporkan oleh pemilik toko Chai chong Kupang, Yano Laimonta bermula dari ingkar janji yang terjadi dalam hubungan lerja sama antara WL.
Sebagai mana WL dituduh telah memgingkar janji dalam hubungan kerja sama tersebut. Setelah dilaporkan ke Polisi, WL dikenakan pasal dalam hukuman perdata dan pidana.
“Nah, ternyata status hukum WL belum ada putusan secara perdata tetapi sudah ditahan dalam kasus pidana penipuan dan penggelapan. Ini kan aneh”, tutup kerabatnya yang tidak mau namanya dipublikasikan. (***)